April & Leo


Hai, ini kita. Leo dan April

Kemarin, penulis blog ini menghubungi kita. Katanya butuh konten postingan. Ternyata dia minta kita menceritakan tentang “kita”. Aneh banget emang maunya. Karena kita baik, dan dia sudah janji membelikan kami dua porsi ketoprak, mau tidak mau kita harus turuti dia. Sial, pandai sekali dia menyerang titik lemah kita. Loh, kalian ada yang belum tau cerita tentang ketoprak? Hmm...bisa dibaca dulu disini. Oke. kali ini Mas Leo yang akan mengawali cerita.

***
Leo
Tuhan, adakah angin yang lebih dingin dari malam ini? Kalau ada, yasudah tidak apa-apa. Memang Kau Maha Hebat untuk membuat hambaMu merasa tidak hebat. Ia berhasil membuatku merasa sangat kedinginan padahal suhu tubuhku sangat panas.

Sibuk ini dan itu yang beberapa hari ini aku jalani ternyata menjadi jalur mulus bagi bakteri dan virus untuk menghinggapi tubuhku. Masuknya sendiri-sendiri tapi kemudian mereka reunian dan berkongsi membentuk pasukan berkompi-kompi, lalu menyerang sel darah putihku yang lagi asik rebahan sambil nonton Youtube. Dasar tamu kurang ajar.

Kondisi seperti ini obatnya cuma satu: tidur. Dengan susah payah aku menyetel otakku untuk masuk gelombang alpha. Semua usaha kulakukan, menghitung domba, ayam, semut, bintang, baca solawat, ayat kursi, juz amma, dan banyak lagi. Belum ada 30 detik terlelap, tiba tiba aku mendengar pintu kamarku dibuka. Sial sekali, domba yang sudah susah payah aku hitung kini ambyar lagi. Mataku cerah lagi. Demamku terasa lagi. Ingin mengumpat, tapi nggak kuat.

“Ini orderan mu. Abangnya nelponin tapi nomermu gak aktif.” Kata Anwar, rekan satu kosan yang letak kamarnya paling dekat gerbang.

“Hah?” Aku yang tidak pernah merasa order apapun cuma mlongo saat Anwar meletakkan bungkusan putih di atas meja tepat di sisi ranjangku lalu pergi.

Saat kubuka, isinya nasi goreng  di dalam lunch box dan kopi susu panas di dalam tumbler serta sticky note bertuliskan:
Aku cuma mau memastikan kamu nggak melewatkan makan malam dan nggak kedinginan. April

Astaga. Aku bisa langsung sembuh kalau begini caranya. Tapi seketika aku menyadari bahwa aku dan April belum komunikasi sejak tadi pagi dan sekarang hapeku mati.

***
Hanya sesederhana April kirim makanan ke Mas Leo tanpa diminta, membuat kita sadar kalau ternyata ada keterikatan antara kita. Relasi yang kita ciptakan bukan sekedar romantisme yang manis-manis saja. Kalaupun terasa manis, ya itu cuma bonus. Tujuan utamanya ngunyah nasi, tapi ternyata menghasilkan glukosa. 

Entah kenapa semakin kesini kita selalu merasa keberadaan kita melengkapi satu sama lain. Kita memang diciptakan sebagai sepasang asing, tapi Tuhan menakdirkan kita menjadi saling. Kok bisa? Oh tentu bisa, karena di malam yang sama, yang terjadi adalah :

April
Sekarang jam 21.00
Hari ini aku sudah ke kampus menghitungi orang-orang yang lalu lalang keluar masuk pintu ruangan Pak Bambang. Enam orang keluar sambil bersungut-sungut, empat lainnya hampir menangis. Untuk menjaga nama baik mereka, sebut saja mahasiswa tingkat akhir (walaupun mereka sendiri tidak tau kapan sebutan itu akan berakhir). Selama hampir 4 jam duduk di meja ujung lorong yang kata Mamaku - iya, Mama dan aku kuliah di jurusan dan kampus yang sama - sudah ada dari zaman dia kuliah. Setelah bosan karena novel yang aku baca sudah habis, aku memutuskan untuk pergi. Ada rapat organisasi kampus.

Aku sudah menghabiskan sore bersama teman sepermainan. Pesan bubble tea di kedai langganan, gosip ngalor ngidul, selfie dan wefie, lalu pulang. Malam harinya, aku sudah membuat kamar kosanku berkilau saking bersihnya, sudah nyuci baju, sudah nonton 7 episode drama korea terbaru, sudah hampir ketiduran karena jam menunjukkan pukul 23.30.

Sebanyak itu yang aku kerjakan, tetap saja ada satu hal yang tidak luput aku lakukan setiap menit. bayangkan, setiap menit! Hal itu adalah : memeriksa notifikasi HP.

Pertanyaannya :
Kenapa seharian ini Mas Leo nggak chat aku?

***
Lalu ada juga titik dimana kita merasa takut kehilangan. Perasaan dimana perpisahan jadi sesuatu yang mendebarkan. Ini kita temukan ketika pernah Sabtu malam di bulan Januari, Mas Leo main ke kosan April. Ngapel ceritanya hehe.

April
Kalian ingat film Laskar Pelangi? Ingat adegan waktu Ikal beli kapur, lalu melihat Aling untuk pertamakalinya? Dalam adegan itu digambarkan bagaimana bunga-bunga warna pink bermunculan untuk memvisualkan apa yang sedang dirasakan Ikal saat jatuh cinta pada pandangan pertama.
Malam ini, begitulah kira-kira yang aku rasakan. Hatiku menghangat. Pipiku panas. Jantungku bukan main deg-degannya. Tanpa pemberitahuan, Mas Leo datang sambil membawa dua bungkus nasi.

“Aku mau ajak kamu makan, tapi kalau makan di luar kita harus ketemu macet.” Katanya. Ya ampun, this is too sweet.

Aku langsung inisiatif mengambil peralatan makan dan dua gelas air minum di dapur setelah mempersilahkan Mas Leo duduk. Hmm, oke, sebetulnya aku juga perlu memastikan kalau wajahku tidak seperti kepiting rebus. Kesekian puluh kalinya pertemuan kami, kenapa aku masih selalu berdebar seperti ini setiap bersama Mas Leo?

Malam Mingguku terasa seperti naik roller coaster. Semua ini karena ide gilanya: makan berdua di serambi kosanku, setelahnya dia main gitar dan menyanyikan beberapa lagu. Suaranya tidak bagus, cenderung sumbang malah hehe. Tapi aku suka. Apalagi cuma aku yang jadi pendengarnya. Di tengah permainan aku iseng bertanya “Mau dibuatin apa? Pasti kopi kan?” Sebelum dijawab aku udah nyelonong ke belakang. Membuat secangkir kopi untuk Mas Leo. Aku bisa ambil napas sebentar untuk menetralkan hormon adrenal yang sejak tadi terus-menerus dipacu. Bosan main gitar, dia ngajak main Ludo: yang kalah harus menuruti permintaan yang menang. Memang gila orang ini. Tapi aku tetap suka.

Ludo jadi penutup perjumpaan. Kita cuma main satu putaran dan aku kalah. Pintar sekali, begitu menang langsung pamit pulang. Biar aku tidak perlu balas dendam.

Kuantar Mas Leo sampai pintu gerbang. “Aku mau lihat kamu masuk dulu.” Katanya dari atas motor yang sudah dihidupkan. “Yaudah aku masuk ya.” Balasku sambil melambaikan tangan. Ketika aku masuk, aku dengar suara motornya bergerak menjauh.

Pertanyaannya:
Apakah lima tahun lagi kita akan tetap seperti ini ?

Leo 
Untuk pertamakalinya malam Mingguku terasa singkat. Kopi, nasi, Ludo, gitar dan obrolan-obrolan singkat dengan April berlalu begitu saja. Seperti angin. Padahal sekarang pukul 12 malam, berarti totalnya aku bertemu April selama 5 jam. Tapi rasanya masih kurang.

Di kosan, sebelum tiur aku mengirim pesan Whatsapp untuk April :
Karena kamu kalah main Ludo, kamu harus turuti mauku.
Lima tahun lagi temani aku main ke pantai.
***
Yaa begitulah kira-kira sepenggal cerita kita yang biasa saja. Lainnya nanti lagilah yaa. Kita cerita di lain waktu. Ada pepatah yang bilang “Kita bisa memprediksi sesuatu akan dimulai, tapi kita tidak pernah bisa memprediksi akhirnya.” Kalau bisa dibilang, kita ini sedang menyusuri samudera yang kita sendiri nggak tau ujungnya. Tapi yang kita yakini hari ini, bahwa mata kita akan tetap saling tatap lima atau bahkan sepuluh tahun lagi.
SELESAI

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

2023: Final Review

Kubangan

Aku dan Buku