Ketoprak & Hujan




April
Hai! Aku April, gadis biasa-biasa saja, dari keluarga biasa-biasa saja, tapi hari ini aku mau cerita sesuatu yang tidak biasa biasa saja.

Tiga hari lalu, ada yang menghubungi aku lewat chat-room Whatsapp. Sebenarnya ini bukan kali pertama namanya masuk dan muncul di notification bar ponsel pintarku. Lebih dari itu, bahkan namanya sudah rutin muncul dalam hidupku sejak 5 bulan yang lalu.

"Kamu masih suka ketoprak nggak?" Pesan tersebut masuk disusul pesan selanjutnya sebelum aku sempat membalas bahkan berpikir mau membalas apa.

"Kalau masih, makan yuk"

Sore yang lengang di bilik indekosku mendadak menjadi riuh. Setelah aku cek, itu adalah debar jantungku yang mendadak memompa darah jauh lebih cepat dari beberapa menit lalu. Ditambah kupu-kupu yang tadi hampir lelap jadi kaget dan beterbangan kesana kemari menimbulkan rasa menggelitik di perutku. Dramatis sekali bukan?

Leo
Pukul 17.00 hari Sabtu, langit sore terpantau cerah.

Pertanyaannya :
Bisakah kamu menebak siapa gadis yang duduk di boncengan motorku?

April
Sampai detik ini, jantungku yang ukurannya cuma sekepalan tangan itu tidak berhenti bekerja dengan kecepatan super. Sialnya, di hadapan ku sedang tersaji dua piring ketoprak dan seorang laki-laki yang memaksaku untuk bersikap normal. Senormal mungkin.

Dia membawaku ke penjual ketoprak depan kampus, tempat kami bertemu pertama kali.
Aku tidak perlu menceritakan dialog yang muncul dari bibir-bibir kami. Terlalu panjang dan random. Selain itu, cukup aku saja yang boleh menikmati bagaimana angin sore tiba-tiba seperti memutar Broadway Instrument untuk mengiringi obrolan kami. Atau bagaimana tawa renyah laki-laki di hadapanku ini bahkan mampu membuat aku (dan dia) tidak menyadari kalau ternyata gerimis pertama di hari ini sudah menyentuh bumi.

Sekali lagi maaf, cuma aku yang boleh menikmati bagaimana manisnya sore ini

Leo
Aku kira sore ini cerah sampai malam, sampai besok, atau seminggu ke depan. Ternyata tidak. Ketoprak sudah habis, obrolan belum habis, tapi hujan pertama hari ini sudah muncul.

Pertanyaannya :
Bukankah boncengan ditemani gerimis itu romantis?

April
Keputusan kami untuk pulang saja ternyata salah. Belum sampai setengah jalan menuju kosan, hujan yang tadinya hanya rintik-rintik tau-tau menjadi deras sekali. Mau ndak mau, laki-laki itu menepikan motor di depan sebuah ruko. Berteduh. Aku suka hujan, tapi nggak suka kebasahan. Lebih nggak suka lagi, lihat laki-laki ini lebih basah dari aku.

Sepertinya semesta begitu semangat menjalankan skenario Tuhan untuk membuat aku lebih lama bersama dia. Begitu kami sampai, hujan yang deras menjadi semakin deras. Aduh aku harus gimana? Laki-laki ini, meskipun basah kuyup tapi tidak menunjukkan emosi apapun di wajahnya. Mendadakaku merasa canggung untuk memulai pembicaraan dan entah kenapa dia pun juga tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Apa dia kedinginan? Apa dia...

“Kamu bawa casan?” Tiba-tiba dia bicara dan memecah lamunanku.

“Bawa” Aku yang sedari tadi duduk di atas motor menghampirinya yang duduk di bangku kayu depan ruko dan memberikan charger Hpku

“Duduk sini saja”.Ujarnya sambil menepuk bangku di sebelah kirinya.

Leo
Pertanyaannya :
Kamu kenapa?

April
Setelah menimbang-nimbang, akhirnya aku sampaikan kepadanya, “Aku nggak enak liat kamu lebih basah dari aku”

“Apa perlu setelah ini gantian kamu yang bawa motor?”

“Nggak guna juga si,toh nanti kita pasti jalan setelah hujannya reda.” Case closed.

Laki-laki cemara angin ini sedang menaikkan taraf ketampanannya dengan menghisap nikotin dari sebatang A Mild. Diamnya saja membuatku salah tingkah. Oh tidak, aku harus melakukan sesuatu.

“Bawa buku sama pena Mas?”

“Bawa”

“Boleh pinjam?”

Lalu dia bergerak mengambil tas di sebelah kanannya dan mulai merogoh mencari kedua barang yang aku sebutkan. Tanpa kespresi, tanpa suara, tetapi hormon feromonnya tetap saja membuatku mati-matian mengondisikan diri. Rambut basahnya, batang rokok yang terselip di antara kedua jemarinya, seperti bala tentara yang tiba-tiba datang menyerang dan memaksaku untuk semakin mengaguminya dan semakin mengaguminya. Setelah menerima buku dan pena, aku sedikit bernapas lega. Setidaknya aku punya pelarian dan tidak perlu bersusah payah menenangkan diri. Di salah satu halaman kosong aku tuliskan beberapa larik sajak untuknya untuk mengisi keheningan

Leo
“Jangan kebut-kebut, aku nggak mau bajuku kena cipratan”

Pertanyaannya :
Apa boleh kita tunggu saja air kubangannya sampai kering?

April
Desing mesin-mesin roda empat buatan Jepang maupun telolet klakson truk-truk besar warna warni yang lalu lalang sudah tidak terasa mengganggu telingaku. Sama sekali tidak. Yang aku pikirkan sekarang adalah bagaimana caranya aku menyerap segala momen dan dialog yang terjadi antara aku dan dia sore ini. Aku dengar dan amati dengan seksama, kusimpan rapih dalam sudut terdalam otak manusia yang biasa-biasa saja ini, lalu nanti akan aku ceritakan ulang sebagai sebutir permen manis di masa depan. Apakah aku berlebihan? Oh tentu tidak. Bukankah tidak ada yang bisa dinikmati setelah hujan selain pelangi? Tidak apa-apa kebasahan, tidak apa-apa kena tempias cipratan air kubangan. Sungguh tidak apa-apa. Yang aku nikmati ini lebih dari pelangi.

Leo
Jalanan sore ini begitu padat. Pegawai kantoran, tukang ojek, sopir angkot, sopir taksi, komunitas sepeda gunung, abang tukang bakso, bahkan ekskavator untuk renovasi jalan pun sepertinya sudah kompakan dan sepakat untuk memenuhi jalan yang juga aku lintasi ini. Membuat gerak motorku tersendat-sendat, tipis sekali kemajuannya.

Pertanyaannya:
Apakah yang duduk di boncenganku ini tau aku sedang merasakan apa?

April
Selamat datang kembali di bilik kosan April!

Hai jam dinding, bagaimana perjalananmu memutari menit-menit yang ratusan itu? Menyenangkankah? Kalau aku,iya.

Hai sepatu lari di pojok lemari, apakah kamu menikmati momen berdua selama ratusan menit tanpa ada yang mengganggu? Seakan di dunia cuma ada kalian? Kalau aku, iya.

Hai tikus, kecoa, cicak, ulat bulu, tidak papa kalau mau tiba-tiba muncul. Seriusan, aku akan sambut dengan senyuman.

Sambil rebahan dan tentu senyum-senyum, benakku secara otomatis memutar memori tadi sore. Ketoprak, hujan, obrolan manis, dan klimaksnya adalah ketika tangan kami tidak sengaja bersentuhan tepat 10 menit lalu, sebelum akhirnya dia menancap gas motor merahnya.

Terimakasih helm Momo kesayangan, karena kamu bersedia tidak kugunakan dan hanya nangkring di bagian depan motornya, lalu terjadilah prosesi serah terima yang dibarengi persentuhan tangan kami. Tidak disengaja, tapi efeknya masih terasa sampai sekarang. Saat kejadian, seakan waktu dan semua hal di sekitarku membeku. Aneh sekali, selama ini aku kira akan muncul musik latar romantis seperti dalam adegan sinetron

Tapi ya sudahlah. Aku harus segera keramas, biar ndak panas dingin katanya.

Leo
Hari sudah gelap, adzan Maghrib sudah berkumandang lebih dari setengah jam yang lalu. Dengan tubuh wangi sabun dan rambut masih basah, kunikmati kopi buatan sendiri-kental dan pahit-sambil duduk di teras kosan. Sebatang A Mild tidak lupa aku sertakan. Mandi soreku tidak pernah sebahagia ini.

Pertanyaannya:
Apa dia betul-betul melakukan “keramas supaya ndak panas dingin” seperti yang aku minta tadi?

April
Gelap semakin menunjukkan tariannya. Aku yang sedari tadi khusyuk menontoni video lewat Youtube dibuat kaget dengan alarm smartphone yang tiba-tiba berdering nyaring : pukul 22.30. Waktunya kirim pesan untuk Mas Leo.

Ohiya, aku baru sadar kalau belum menyebut namanya sama sekali. Terlalu asyik menceritakan sore manis kami, sampai bagian paling krusialnya lupa aku sertakan. Tolong dimaklumi. Namanya Leo. Biasa aku panggil “Mas Leo” atau “Mas” saja. Lelaki cemara angin ini, tidak kusangka-sangka bahwa dialah yang mampu menimbulkan reaksi dahsyat pada hormon estrogenku. Pertemuan pertama kami yang biasa-biasa saja itu ternyata menimbulkan pertemuan kedua, ketiga, keempat, kelima dan seterusnya.

Memang betul, dari beberapa novel roman yang aku baca : pertemuan pertama adalah kebetulan, pertemuan kedua juga tentu masih kebetulan. Tapi jika ada pertemuan ketiga, Tuhan pasti punya rencana lain untuk kita.

Leo
Malamku yang hampir tidur tiba-tiba kembali terjaga. Sebabnya adalah denting pesan Whatsapp di smartphone. Denting pesan yang hanya dimiliki oleh satu nama.

“Lagi sibuk mas?”. Begitu pesannya terpampang dilayar smartphoneku

“Memang kenapa?”

“Kalau nggak sibuk, nanti akan ada panggilan masuk di hapenya. Setelah itu, hapenya di swipe up ya?”

“Kenapa nggak chat aja?”

Kalo cuma sekedar ngobrol ya chat aja cukup.” 
Lalu tiga detik kemudian : sebuah panggilan Whatsapp muncul di layar smartphoneku

Pertanyaannya:
Sudah tahu kan kalau nama yang muncul adalah April?

SELESAI

Komentar

Postingan populer dari blog ini

2023: Final Review

Kubangan

Aku dan Buku