Aku dan Buku



"Ketika nanti ada yang melamar, aku maunya dibawain seserahan apa ya?" 

Sempat terlintas di kepala pertanyaan semacam itu. Maklum, usia hampir masuk seperempat abad, dimana pertanyaan-pertanyaan "kapan nikah" sudah akrab sekali di telinga.

Lalu bermunculanlah berbagai macam bentuk perhiasan dan aneka rupa benda yang lazim dibawa untuk seserahan. Tapi kok ternyata nggak ada yang cocok yaa. Cincin, kalung, seperangkat make up atau skin care, pakaian dan lainnya memang menggoda. Namun, kalau kata Marie Kondo semua benda-benda itu ndak menimbulkan "sparkling joy". Sempat bertanya tanya juga ke diri sendiri : terus aku tu maunya apa?  

Sampai akhirnya, jawaban pertanyaan itu adalah buku. Tumpukan kertas yang disatukan dan nggak membuat cantik serta mulus itu malah jadi hadiah yang paling aku inginkan. Jadi, lahir di tengah keluarga yang mengedepankan pendidikan membuat aku hari ini merasa punya privilege. Yaa meskipun tidak berbentuk materi, ternyata suka membaca ini jadi semacam a step forward buat aku. Ketika banyak orang harus berusaha keras membiasakan membaca, aku sudah melakukannya bahkan sebelum sadar kalau membaca itu penting. Ketika banyak orang masih mati matian berusaha mencintai buku, aku sudah memastikan buku jadi bawaan wajib ketika pergi. Ada masa dimana aku tidak menyadari bahwa membaca adalah sebuah privilege yang tidak semua orang dapatkan. Seorang kawan bertanya "kok bisa sih kamu suka baca?" pada suatu hari dan aku ndak bisa menjawab karena selama ini, suka membaca aku lakukan tanpa usaha tertentu. Ternyata, semua ini ada asal muasalnya.

Waktu aku di usia Taman Kanak-Kanak dan Bapak masih berstatus mahasiswa S2 di Jogja, komunikasi yang dilakukan Ibuk sama Bapak hanya sebatas berkirim surat. Aku masih ingat ada beberapa surat dari Bapak yang isinya 2 macam. Satu tulisan tangan, satu lagi diketik pakai komputer. Yang tulisan tangan untuk Ibuk karena cuma Ibuk yang bisa baca tulisan bersambung waktu itu. Satunya lagi untuk dibaca sama aku dan Aban. Dulu yang aku merasa biasa saja, orang Ibuk dapet surat ya wajar dong kalau anaknya juga dapet. Lalu hari ini aku sadari kalau ternyata itu jadi salah satu alasan kenapa hari ini aku berani menjadikan buku sebagai bagian hidupku. Yang dilakukan Bapak secara nggak langsung membuat anak-anaknya jatuh cinta pada membaca. Saat itu yang membuat "nagih" adalah sensasi menunggu surat Bapak dan menanti cerita apalagi yang harus kita baca. Ternyata di balik itu muncul kebiasaan membaca yang tidak sadar terbentuk.

Selain surat, Bapak juga selalu membawa majalah sebagai buah tangan. Majalah Bobo dan Ino (yang lalu berganti jadi Ina) hampir jadi bawaan rutin. Kalau rezekinya lagi bagus, Bapak belikan majalah baru. Kalau nggak mampu beli baru ya beli yang bekas. Itupun aku tetap senang sekali, lebih senang dibanding dibawakan bakpia! Majalah baru atau bekas, pokoknya aku suka semua. Ndak tau Bapak sengaja atau tidak soal surat dan oleh-oleh majalah ini, yang pasti efek yang aku rasakan cukup besar terhadap kecintaan aku kepada buku. Ketika ada uang lebih, aku bisa menahan diri untuk beli pakaian baru dibanding menahan diri untuk beli buku. 

Dua cerita di atas adalah cerita "praktikum membaca" dari Bapak. Ada masa pelatihan yang dilakukan entah berapa lama oleh Ibuk. Mungkin mereka ini sudah bikin grand design buat membentuk kecintaan membaca anak-anaknya. Wajar, aktivis organisasi harus tertib memanajemen apapun termasuk masa depan buah hati. Jangan-jangan surat tulisan tangan yang aku nggak bisa baca itu isinya koordinasi mereka. Bagi tugas : Ibuk melatih aku dan adikku baca setiap hari, Bapak yang tugas kasih post-testnya. Karena yang terjadi adalah, dulu itu aku bosan sekali belajar baca terus, apalagi kalau Ibuk udah marah-marah gara gara salah sebut kata atau kalimat. Kawan-kawanku main, aku malah disuruh duduk menghadap Ibuk dan latihan membaca susunan huruf-huruf  di bukunya Mbah As'ad Humam. Informasi, Mbah yang satu ini selain menulis buku Iqro legendaris itu, juga menulis buku latihan membaca tanpa mengeja. Wah, tapi kembali lagi ke asumsi jangan-jangan Bapak sama Ibuk ini udah rapat terbatas membahas strategi ngajarin baca tulis ke anaknya sesuai dengan SOP yang berlaku. Formulasinya harus betul-betul disesuaikan agar goal settingnya tercapai. Karena gimanapun bosannya aku, tetap aja selalu semangat buat membaca rangkaian-rangkaian huruf yang ada. Tetap saja bahagia kalau dibelikan bacaan baru. 

Buat aku dan kita semua, nanti bisa ditiru cara Bapak sama Ibuk untuk memunculkan kecintaan terhadap buku ke anak-anaknya. Bagaimana mereka menuntut untuk mencintai buku tanpa kata perintah "Kamu harus suka baca buku" tapi lewat kegiatan yang menimbulkan rasa cinta tanpa disadari. Dilakukan konsisten dan terus menerus sehingga jadi kebiasaan baik yang tidak disadari. Sampai pada akhirnya usaha mereka waktu itu jadi privilege buat aku di hari ini. Kesimpulan yang mau aku sampaikan adalah : kalau hari ini kita belum cinta sama buku, anak kita jangan sampai kayak gitu. Salah satu tulisan di blog adekku bilang kalau literasi jadi salah satu hal yang bisa kita ubah di generasi selanjutnya. Bisa dibaca disini btw. Memang literasi tidak bisa dimaknai mentah-mentah sebagai aktivitas baca saja. Tapi budaya literasi yang baik itu harus didahului dengan budaya baca yang baik kan?

Selamat! Belum nikah aja udah punya PR baru wkwk

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

2023: Final Review

Kapan Terakhir Menangis?