Kapan Terakhir Menangis?

Kalau aku tadi malam. Trigger-nya adalah saat lihat unggahan Sri Izzati di Twitter. Yang waktu kecil sering baca buku Kecil Kecil Punya Karya (KKPK), mungkin nggak asing sama Sri Izzati yang kerap disapa Izzi. Beberapa jam yang lalu, Izzi mengunggah foto kelulusannya dari Columbia University dengan caption (takarir): "Imagine telling 8 y/o Izzati that 20 years later she would have a writing degree."

Baca takarir singkatnya, tangisku langsung pecah. Ada banyak hal dalam kepala yang akhirnya tumpah lewat sepotong kalimat yang singkat tapi powerful dari Izzi. Hal pertama yang muncul adalah, pas lagi capek banget ngerjain tugas kuliah, terus muncul foto orang wisuda tuh bikin overthinking banget, "ya Allah wisuda masih jauh banget rasanya." Di saat yang bersamaan juga aku seperti ditampar dengan fakta bahwa aku kok jahat banget sama diri sendiri dengan membanding-bandingkan pencapaianku dan orang lain. Melihat bagaimana Izzi menulis takarir, rasanya aku juga perlu menggunakan metode yang sama untuk menenangkan inner child aku bahwa pasti akan ada jawaban atas segala hal yang aku pertanyakan.

 

Sebelumnya, saat jalan menuju kampus aku juga sempat meneteskan air mata karena melihat seorang bapak menuntun motor yang sepertinya kehabisan bensin. Di belakangnya ada 2 anak kecil berseragam sekolah mengikuti langkah si bapak. Aduh, kalau soal momen orangtua dan anak tu lemah banget aku mah wkwk.

Nah, kan kemarin aku nangis lebih dari sekali dalam sehari nih. Lalu apakah aku lagi gak baik-baik aja? Nggak, aku keadaannya sangat baik. Lah, tapi kan lagi sedih. Iya aku sedih, tapi apakah ini buruk? Oh tidak juga. Ada beberapa hal soal nangis yang aku harap aku tau lebih awal. 

Cry it out
 
Beberapa orang ada yang menganggap kalau menangis itu artinya lemah, makanya sedih dan menangis itu sepaket dan punya makna yang cenderung negatif. Aku juga dulu orang yang menganggap kalau menangis itu tandanya lemah. Padahal, ternyata saat aku lebih bisa mengekspresikan emosiku lewat nangis, justru malah bikin aku semakin kuat. Menangis jadi katarsis yang lebih kuat efek healing-nya dibanding katarsis aku sebelumnya yang menggunakan media journalling untuk merilis perasaanku lewat tulisan. Jadi, kalau emang dirasa perlu menangis, jangan ditahan. Cry it out.
 


Menangis adalah puncak ekspresi
 
Akhir-akhir ini aku merasa lebih sering menangis. Tapi setelah ditelaah, nangisku ada banyak sebabnya. Ada yang nangis karena seneng, ada nangis karena sedih, ada nangis karena kecewa, ada nangis karena capek, ada nangis karena kangen. Aku tu pernah banget mengalami masa dimana aku merasa guilty kalo nangis. Kayak rasanya bersalah gitu. Tapi itu dulu, pas aku masih menganggap kalau menangis itu cuma untuk kesedihan dan sedih itu artinya lemah. Padahal, emosi itu ada banyak jenisnya. Senang, sedih, kecewa, marah dan emosi lainnya tu udah ada porsinya sendiri untuk "lewat" di kehidupan kita. Ketika kita memperbolehkan diri kita merasa bahagia seharian, akan ada saatnya juga kita memberi izin diri kita untuk sedih seharian. Begitu juga dengan emosi yang lain. Pernah nonton film Inside Out gak? Saat pemeran utamanya, Riley, gagal memenangkan pertandingan hockey, dia merasa sangat sedih. tapi lalu kesedihannya sembuh dengan kehadiran keluarga dan teman yang tetap mendukung meskipun dirinya gagal. Di film itu ada value soal rasa senang dan sedih yang ternyata saling melengkapi. Bahwa rasa senang yang hadir itu, bisa jadi didahului dengan kesedihan. Ini contoh kecil bagaimana emosi manusia itu ada porsinya. Yang perlu diingat adalah, berlebihan itu tidak baik, bahkan rasa senang jika berlebihan juga tidak baik. Senang secukupnya, sedih secukupnya. Maka menangis buat aku jadi puncak ekspresi, untuk mencukupkan kembali emosi yang sudah membludak di dalam diri. 

Kalau kamu, kapan terakhir menangis?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

2023: Final Review

Kubangan

Aku dan Buku