The Journey : Monitoring Lazismu (Part 3-habis)

Foto bersama tim, ketua PCM dan ketua PCPM
 

Hari ketiga (Jum’at, 23 Juli 2021)

Selamat Pagi Bahuga! Selamat Pagi Way Kanan!

Setelah sholat subuh, aku mandi, ganti pakaian, packing, leyeh-leyeh dulu terus keluar kamar buat menyambut matahari Bahuga. Di meja ruang tamu sudah terhidang teh hangat (sudah gak hangat karena aku dan Mbak Jeni kelamaan keluarnya) yang disiapkan dengan semangat oleh Mbak Ambar, satu-satunya anak perempuan Pak Sinwani. Keluarga Pak Sinwani ini cukup unik. Pak Sin (sebut saja begitu) bersuku Jawa ngapak yang aksennya masih sangat jelas terlihat meskipun bicara dalam bahasa Indonesia, istri beliau adalah suku Lampung totok yang kesehariannya pun masih menggunakan bahasa Lampung. Lalu Mbak Ambar ini punya tempat spesial dalam cerita ini guys. Gimana yaa cara mendeskripsikan beliau? Orangnya humble banget, gak bikin tamu jadi sungkan untuk memulai obrolan. Ditambah lagi, Mbak Ambar ini sigap sekali melayani kita semua di rumah ini. Menambah list keunikan keluarga Pak Sinwani. Setelah sarapan siap, kami dipersilakan untuk makan bareng Pak Sin, Bang Anton, Mas Sidiq dan Bnag Edwin. Daging kedelapan! Tapi ada pengobatnya : sayur sop ayam. Mataku dan Mbak Jeni langsung berbinar-binar melihat ada incaran lain selain daging dan santan. 

 

Tetap cek suhu

 

Pemotongan sapi di hari ini tidak perlu jalan jauh karena dilaksanakan di halaman rumah. Hanya perlu jalan sedikit ke mushola untuk keperluan dokumentasinya. Selanjutnya, bergulir seperti biasanya. Tapi kali ini sedikit berbeda karena aku dan Mas Deni sudah tidak berkewajiban menyalurkan paket sembako (kami memang hanya membawa 20 paket). Yasudah, selama panitia lokal memotong sapi kami hanya duduk-duduk, ngoceh sana sini, dan sesekali foto. Lama-lama kami yang muda mlipir masuk rumah dan menyantap gorengan, asinan juga es sirup yang dibuatin Mbak Ambar. Nggak lama kemudian makan siang siap dan kami diajak makan siang bersama. Daging kesembilan! 

Penyaluran daging dilakukan setelah dhuhur karena harus dipotong sholat Jum’at. Saat semua laki-laki jumatan, setelah sholat dhuhur aku dan Mbak Jeni memanfaatkan waktu buat tidur dan ternyata kita ketiduran sampe jam setengah 2 siang. Sadar kalau sudah membuang waktu, kami berdua langsung siap-siap buat mendistribusikan daging karena takut anggota tim lainnya sudah siap sedangkan kita masih tidur. Tapi ternyataa, dua orang lainnya juga tidur -_-. Akhirnya yang penyaluran cuma aku dan Mbak Jeni ditemani Mbak Ambar sebagai penunjuk jalan dan kawan ngobrol serta satu orang panitia lokal yang bertugas mendorong lori berisi bungkusan daging kurban.

 

on duty bersama Mbak Ambar

 

Orang sini unik banget (khususnya keluarga Pak Sin). Rata-rata pada bisa bahasa Jawa dan bahasa Lampung. Jadi they are easily switch the language tanpa terlihat gagap. Yang Lampung bisa keliatan Jawa banget, yang Jawa bisa keliatan Lampung banget. Hebat! Setelah selesai menyalurkan semua daging, ternyata kami harus menunggu semua daging tersalurkan karena PIC Bahuga (Bang Anton dan Mas Sidiq) sibuk ikut penyaluran sehingga kita gak bisa menyelesaikan urusan administrasi kalau mereka belum datang. Sekembalinya mereka, kami selesaikan urusan administrasi bareng Bang Anton dan Mas Sidiq (yang wajahnya sudah terlihat lelah sekali, tapi masih tetap bersedia kami gupekin). Administrasi selesai, dokumentasi selesai, lalu kami packing dan berpamitan pulang. Mungkin sekitar jam 4 sore saat kami melambaikan tangan mengucapkan salam perpisahan kepada Pak Sin sekeluarga. 

Tugas Bahuga selesai, sekaligus pertanda selesai juga rangkaian tugas kami untuk monev.

Pulang

Rute pulang kami akhirnya diputuskan untuk via tol saja setelah sebelumnya sempat muncul ide untuk pulang via Bukit Kemuning. Dari rumah Pak Sin, kami diantar Bang Anton sampai ke jalan besar. Jalan besarnya bukan sembarang jalan besar, tapi jalan besar yang ini berlokasi di lain provinsi. Tepatnya di Bendungan Komering (BK) 5, Belitang Sumatera Selatan. Wow, kita sudah berada diluar Lampung! Yah begitulah, ini adalah rute terdekat untuk mencapai Pintu Tol Simpang Pematang.

Di Gumawang, BK 10, kami berhenti sebentar di Indomaret untuk jajan dan menikmati sore di Sumatera Selatan lalu sholat di Masjid Agung Gumawang sambil top-up kartu tol di Indomaret dekat situ. Selesai belanja dan memastikan kebutuhan selama di jalan pulang terpenuhi, kami melanjutkan perjalanan pulang kami. Ternyata perjuangan belum selesai, kawan. Mulanya aku pikir lokasi pintu tolnya di BK 16 karenaa dari petunjuk Bang Anton tu “setelah sampai BK 16 kalian belok kanan”. Lalu baru aku pahami maksudnya bahwa belok kanan di BK 16 itu adalah permulaan yang sebetulnya hahaha. Kami selesai sholat itu lepas maghrib, lalu masuk tol di jam 9 malam. Berarti kira-kira 1 jam perjalanan lamanya. Dugaanku, itu jalur lintas timur yang menyambungkan (salah satunya) jalan di Sukadana, Lampung Timur. Kondisi jalannya sepi banget, ada momen dimana kita sendirian tanpa ada kendaraan lain di jalan yang gelap dan pepohonan di kanan kiri. Ini momen cringe kedua buatku setelah momen kesasar di kebun sawit ahaha. 

 

 

Setelah masuk tol, ndak lupa kami mengabari Bang Anton walaupun sudah tidak direspon, tapi setidaknya kita sudah mengabari bahwa kami baik-baik saja. Pintu Tol Simpang Pematang itu ada di KM 182, lalu di KM 172 kami memutuskan untuk berhenti di rest area karena driver kami sudah tidak kuat dan harus istirahat (kita semua juga si hehe). Berhentilah kami di rest area yang masih kosongan. Cuma ada toilet, Indomaret, Alfa Express, Masjid dan SPBU. Mas Deni langsung digelarin kasur di selasar rest area terus dipijetin Mbak Jeni, meanwhile aku ke toilet dan mandi. Melepas hawa-hawa lelah di badanku yang ketempelan keringat sejak tadi pagi. Setelah mandi, kami menyantap makan malam bertiga (Mas Deni pilih tidur dulu). Makan malam kami adalah bekal yang dibawakan Mbak Ambar dari rumah Pak Sin. isinya? Daging kesepuluh! Selesai makan, aku menghabiskan episode terakhir Loki The Series di Disney+ Hotstar ditemani Fajar dan Mbak Jeni. Setelahnya, Mbak Jeni maraton film pake hapeku sedangkan aku tidur di mobil. Dilanjutkan Fajar yang menyusul tidur di sebelah Mas Deni, akhirnya tersisalah Mbak Jeni yang jagain kami dan barang-barang. Aku tidur cukup lelap, walaupun sesekali harus bangun karena ada mobil lain yang datang dan berhenti tepat di sebelah ambulance kami. Posisi tidurku di bagian belakang dan sengaja aku buka pintunya, jadi kalau ada yang datang akan sangat jelas terdengar. Mungkin orang-orang ngeliat kita aneh banget kali yaa. Udah mah ada ambulans kosong aja aneh, ini nginep di rest area lama banget pulaa hahaha. Sekitar jam 4 pagi aku bangun karena Mbak Jeni pindah ke mobil. Mendekati subuh Mas Deni bangun terus kita semua (termasuk Fajar) ke masjid buat sholat. 

Setelah sholat, kami beresin “shelter” sementara kami dan mengembalikannya ke posisi semula. Mbak Jeni langsung tidur karena semaleman berjaga demi keamanan, sedangkan aku dan Fajar jajan kopi dan mi instan di Indomaret. Pagi itu, kami menemukan Surga Pop Mie setelah berhari-hari mengalami Neraka Daging. Sekitar jam 5.30 kami melanjutkan perjalanan menuju Kota Bandarlampung. Perjalanan yang sangat singkat karena tidak sampai satu jam kemudian kami sudah keluar dari Pintu Tol Natar dan melanjutkan sedikit perjalanan ke titik kembali kami : Gedung Dakwah Muhammadiyah.

Momen pulang ini walaupun jadi bagian terakhir, merupakan bagian krusial dimana “mini trailer” kesimpulan perjalanan sudah bisa kita lihat. Jika perjalanan adalah stasiun, maka berangkat dan pulang adalah analogi dari pertemuan dan perpisahan. Jika hidup adalah perjalanan, maka perpisahan boleh jadi adalah permulaan dari sesuatu yang baru. Maka dengan berakhirnya perjalanan ini, aku siap menyambut hal baru yang menantikan aku di depan sana. Aku sengaja hanya menceritakan alur perjalanannya saja karena ada beberapa hal spesial yang akan dibahas di tulisan tersendiri.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

2023: Final Review

Kubangan

Aku dan Buku