Aku Positif Covid! (Part 1)


Halo semuanya!

Tanggal 1 Agustus malam, aku melakukan swab antigen dan hasilnya dinyatakan bahwa aku positif. Sebetulnya nggak heran karena aku abis melakukan perjalanan selama berhari-hari dan dua dari tiga lokasi yang aku kunjungi adalah zona merah. Lalu, beberapa hari yang lalu aku berkonsultasi bareng psikolog untuk mendapatkan dukungan psikososial. Alasan aku merasa perlu dukungan psikososial adalah fakta bahwa aku positif covid cukup mengganggu pikiranku dan fakta bahwa aku tidak berani mengungkapkan ini kepada orang terdekatku membuat aku memutuskan bahwa aku butuh bantuan professional. Aku juga sampaikan kepada psikologku, aku mungkin bisa menghilangkan perasaan ini, tapi aku butuh bantuan untuk mempercepatnya. Sebagai tindak lanjut dari sesi konsultasi, aku dapet tugas untuk menuliskan beberapa hal: (1) yang sedang dirasakan, (2) yang sudah dilakukan untuk mengurangi perasaan tersebut, (3) efek yang dirasakan setelahnya, (4) hal yang disyukuri. Tapi karena buku agendaku baru saja habis, aku tuliskan saja ini di blog. Biar teman-teman juga bisa  baca kan?

pertamakalinya minum obat sebanyak ini

Saat itu, kondisi tubuhku secara fisik tidak terlalu mengkhawatirkan : demam ringan 3 hari, dilanjutkan dengan flu berat sehari doang, ditambah sedikit batuk dan nyeri sendi. Masih seperti “kecapekan” biasa. Tapi, boleh dibilang secara mental aku cukup terguncang. Once in a while ada yang masuk ke dalam otak aku “wah, mati ni gue bentar lagi”. Banyaknya berita tentang kematian karena covid yang aku lihat di Twitter dan betapa yang ditinggalkan mengalami luka mendalam mendadak mendistraksi aku. Bayangan kematian dan rasa ditinggalkan tiba-tiba saja muncul dan membuat aku untuk sesaat jadi takut mati. Kenyataan bahwa aku tau kalau gejala yang muncul adalah gejala ringan dan aku sudah divaksin tidak cukup membuat aku tenang sepenuhnya. Lalu apa yang aku lakukan? I was masking my anxiety with positive affirmation by saying “Insyaallah aman, aku udah vaksin kok” to my media social friends. It works but not as much as I was expect. Jadi yang aku lakukan adalah menutupi rasa takutku dengan berusaha menenangkan mereka. Ini tidak sepenuhnya benar untuk dilakukan ternyata. Benar, karena aku temukan bahwa yang aku lakukan itu bukan “menutupi” tapi aku memang berusaha menciptakan lingkungan aman untuk kondisi mentalku. Aku menyadari bahwa aku tidak baik-baik saja, maka kalau aku mengeluhkan keadaan ini kepada orang-orang terdekat justru aku sedang menyebarkan energi negatif. Tapi ini juga salah, karena aku justru membiarkan energy negative itu bersarang dalam diriku. Setelah aku menyadari bahwa itu salah, makanya kemudian aku putuskan untuk minta bantuan ahli dalam persoalan ini.

alat makan aku dipisah demi keamanan

Ketika ditanya oleh psikolog soal apa yang sudah aku lakukan untuk menghilangkan perasaan itu, jawabanku adalah : sholat, istighfar dan melakukan kegiatan yang bisa mengalihkan focus aku. Mungkin terlalu religius, tapi istighfar dan sholat itu efeknya seperti mendengarkan music-musik meditasi  buat aku. Kalo kita bisa ibadah sekaligus meditasi, kenapa nggak kan? Fortunately, di tanggal 2 Agustus Twitter dipenuhi kegembiraan karena kemenangan Greysia Polli dan Apriyani Rahayu di Olimpiade Tokyo. Ribuan ucapan selamat, foto kemenangan dan video selebrasi mereka mendadak jadi obrolan nomer 1 di jagat maya. Yang suka olahraga atau pun nggak suka, yang paham bulutangkis maupun yang Cuma karbitan, yang k-pop yang ustad yang sjw semuanya bersuka cita melayangkan like dan retweet untuk berita kemenangan ini. Aku yang kemarin malam masih berjuang melawan ketakutan, tiba-tiba jadi lupa sama ketakutan itu. Poof! Hilang sama sekali! Aku terlalu bahagia dengan kemenangan itu, sampai lupa kalo aku pernah takut mati hahaha. Momen GreyAp ini jadi klimaks dari usahaku menenangkan diri. Jadi lucunya, pas aku melakukan sesi konsultasi tu udah gak hectic dan panik lagi. Tapi tetep jadi bagian penting karena aku masih harus merilis apa yang aku rasakan dan belum aku ceritakan ke siapa pun. Pendek kata, aku berkonsultasi tu karena murni ingin bercerita dan itu sah-sah saja.

minyak kayu putih dan inhaler adalah teman

Momen bercerita ke psikolog itu gak harus pas kamu lagi merasa galau aja kok temen-temen. Kamu gak terus akan jadi ODGJ (Orang Dengan Gangguan Jiwa) hanya dengan kamu memutuskan untuk curhat ke psikolog. Trust me. Analogi yang dipakai Pandji Pragiwaksono itu aku suka, dia bilang gini “Ke psikolog itu kayak ke dokter gigi, harus rutin walaupun lo gak ngerasain keluhan. Hanya untuk memastikan bahwa keadaannya baik-baik saja.” Tulisan ini tadinya mau aku isi dengan cerita keseharian selama isolasi mandiri. Tapi, ternyata keseharian aku gitu gitu aja : bangun tidur-buka laptop-rebahan-makan-nonton-repeat. Gak asik sama sekali! Yaudah aku buat aja jadi bahasan mental health karena memang aku belum pernah menuliskan soal ini juga sebelumnya. Nah, positif covid ini jadi the moment of truth-nya aku kalau kita perlu banget mengupayakan kesehatan mental kita sendiri. Menyadari perasaan-perasaan yang muncul dari dirimu, lalu mengungkapkannya itu gak salah sama sekali!

Masih ada satu chapter lagi yang belum aku bahas, bagian soal apa yang disyukuri. Aku ceritakan di postingan selanjutnya yaa

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

2023: Final Review

Kubangan

Aku dan Buku