Kenapa Jalan Asal?



Postingan kedua #kadobuatnadiya

Aku sudah melewatkan 1 hari jatah postingku. Ingkar janji sekali anda, kisanak. Tapi ada alasannya kok. Aku cuma belum menemukan bahan cerita yang “klik” untuk dibagikan. Tapi, sekarang sudah J

Sebelum berkelana jauh ke cerita-cerita lain, aku mau ceritakan asal usul kenapa Jalan Asal aku jadikan nama blog ini. Tapi untuk mencapai kesitu, aku harus bawa kalian flash back 9 tahun sebelumnya. Tepatnya tahun 2012, saat itu aku kelas 3 Madrasah Tsanawiyah (setara kelas 9 SMP). Aku tinggal di sekolah berasarama kala itu. Dimana setiap kamar di asrama ada pendamping yang kita sebut mujanibah. Mujanibah ini asalnya dari kakak kelas yang duduk di kelas 10 atau 11 Aliyah. Masa tugas mujanibah cuma setahun lamanya. Ketika kenaikan kelas, yang kelas 10 akan pindah asrama dan yang kelas 11 akan bebas tugas karena harus fokus Ujian Nasional di kelas 12. Singkat cerita, sampailah kami di penghujung tahun dan mengakhiri kebersamaan sama mujanibah kamar kita. Nah, aku masih inget banget nama mujanibahku itu Mbak Alya. Mbak Alya ini ngasih kenang kenangan ke anggota kamarnya, masing masing  sebuah buku dengan judul yang berbeda. Aku dapet buku  berjudul The Journeys 2.

Aku agak kecewa karena mendapatkan buku yang bukan novel. Tapi cuma sedikit lho ya kecewanya. Excitement karena mendapat buku baru secara gratis jauh lebih besar. Kenapa kecewa? Karena ketika itu aku lagi gandrung-gandrungnya sama buku-buku fiksi kayak novel-novel fantasi tulisan Tere Liye, Teenlit terbitan Gramedia Pustaka Utama atau novel-novel roman keluaran Gagas Media. Pas tau kalau itu bukunya bukan bergenre novel, sudut hatiku ada yang mengeluh pelan. Sampai akhirnya aku baca dan habiskan buku itu, segala sesal karena nggak dapet novel sirna sudah. Justru sekarang aku akan menyesal kalau sampai dulu aku memutuskan untuk tidak melumat habis “buku non novel” itu. Karena, setelah baca The Journeys 2 aku seperti menemukan path of life gitu lho. Jadi waktu kelas 9 dulu, aku bahkan gak paham sama kesukaanku sendiri. Aku suka menulis, iya. Tapi jangankan punya karya novel, nulis puisi aja gak bisa, nulis cerpen juga cuma dapet 2 lembar. Serampung aku baca The Journeys 2, langsung kayak “oh, ini ni yang gua suka”. Sepele sekali kan? Tapi rasanya bahagia sekali menemukan apa yang kita cari-cari selama ini.

Buku itu isinya adalah cerita perjalanan si penulis (btw, yang nulis ada lebih dari 1 orang) dan cerita di baliknya. Misal, tulisan Windy Ariestanty yang menceritakan filosofi koper dan packing sebelum kita melakukan perjalanan atau ceritanya Trinity tentang bagaimana cerita perjalanan itu tidak hanya datang dari pengalaman yang membahagiakan. Perjalanan yang menyebalkan, kesasar di jalan, kecopetan dan kepahitan lainnya, itu juga bagian dari cerita. Ada juga cerita tentang menikmati “selo di Solo” dari seorang warga Jakarta  yang lelah dengan ketergesaan dan keserbacepatan kota. Banyak lagi cerita dan semuanya aku nikmati dengan bahagia. Bahkan aku sampai tiga kali khatam membaca buku itu dan tidak bosan. Perjalanan, dan cerita di dalamnya menjadi point of interest yang membuat aku paham tentang “oh, akutu ternyata sukanya jalan-jalan dan menikmati makna perjalanan.” 

Setelah The Journeys 2, buku bacaanku yang mulanya hanya novel lalu beralih ke buku-bukulifestyle tentang perjalanan. Buku yang aku beli hanya buku-buku yang ada kaitannya dengan perjalanan. Tetep baca novel, tapi gak mau beli novel. Dari buku-buku yang kubaca itu, akhirnya aku menemukan ungkapan “to travel is not about the destination, it is about the journey” yang aku jadikan pembuka di halaman awal blog ini. Buatku, makna ungkapan itu dalam sekali. Bagaimana selama perjalanan selalu banyak cerita yang bisa diungkap. Cerita manis maupun pahit. Oke, pembuka cerita sudah saya ungkapkan. Sekarang kita masuk ke tujuan awal “kenapa aku namai Jalan Asal?”
Jalan Asal itu kalau dibalik jadi “asal jalan”. Setelah baca The Journeys, asal jalan itu jadi cita-citaku. Aku pengen explore suatu tempat, randomly, lalu aku tulis ceritanya biar kayak mereka-mereka yang ada di buku. Itulah alasannya. Makna non harfiahnya jujur baru aku ketahui beberapa tahun kemudian. Bahwa ternyata aku yang awalnya cuma asal aja memilih nama blog itu, tanpa kusadari itu mempengaruhi alam bawah sadarku untuk menyukai perjalanan. Apalagi perjalanan yang aku lakukan untuk pertama kalinya. Karena dari situ aku bisa mendalami makna perjalanan lebih dari hanya sekedar perjalanan. Soal perjalanan, nanti aku ceritakan di lain kesempatan. Bisa panjang kalau dibahas disini.

Bandarlampung, 21 Agustus 2019

Komentar

Postingan populer dari blog ini

2023: Final Review

Kubangan

Aku dan Buku