Kubangan
Orang orang
menyebutku kubangan. Cekungan jalan aspal yang menciptakan ceruk sehingga saat hujan datang, mampu menampung beberapa kubik air di dalam
tubuhku. Menggenang. Aku tercipta belasan tahun yang lalu saat pemerintah melakukan
perbaikan jalan nasional di kota ini. Dana yang sangat tipis karena dikorupsi
oleh tikus-tikus berdasi, menyebabkan para pekerja juga mengerjakan proses pembuatan jalan
dengan prinsip : yang penting selesai. Kata mereka aku hanya kubangan air di sisi
jalan aspal yang akan habis menguap saat sang surya bersinar. Mereka bilang aku
ini benda mati yang hanya bisa diam bergeming menatap laju roda-roda yang
berseliweran tiada henti dan tidak murka meski tubuku dilindas berkali kali
hingga isi tubuku muncrat keluar mengenai apa yang ada di dekatku. Meskipun
anak-anak kecil suka bermain menciprat-cipratkan air di tubuhku kepada
kawannya, tapi petugas Puskesmas malah gencar memusnahkan aku. Sumber nyamuk
katanya.
Mereka salah. Aku
ini makluk dengan penciuman paling baik. Aku bisa tahu bagaimana aroma semangat
seorang seorang kepala keluarga demi suap nasi untuk anak istri dari roda
kendaraan yang dikendarai Mas Joko, sopir truk pembawa kelapa sawit yang lewat
di depanku setiap Senin dan Jum’at pukul 3 pagi. Ada juga anyir darah dari roda
kendaraan milik penjual organ tubuh manusia. Lewat satu bulan sekali lalu
berhenti radius 3 meter dariku. Bertransaksi. Aroma gairah cinta dari roda
motor milik Pardi dan Sri, sepasang kekasih yang baru menikah 3 bulan lalu,
yang kerjanya plesir berdua saban sore. Lagi hangat-hangatnya. Juga aroma Vespa
Badrun, anak Pak Lurah yang sudah 6 bulan kabur dari rumah lalu memilih
peruntungannya sendiri. Jadi makelar perabot rumah tangga. Aku tahu semuanya. Bahkan
bau kematian dari kendaraan yang sesaat kemudian menabrak kendaraan lain atau
hilang kendali lalu menabrak trotoar pun aku mengerti baunya. Saat ada kendaraan yang
lewat dengan kecepatan penuh memuntakan seluruh isi tubuku keluar, aku tidak
mati. Tidak pernah mati. Kubangan air di tepi aspal tidak pernah mati meski
kehilangan isi tubuh. Karena esok atau nanti sore hujan pasti datang lagi
Tapi ada satu
aroma yang aku tidak pernah lupa. Aroma manis dari pengendara Honda CB100 yang
sudah mulai berkarat. Aku sudah sangat terbiasa dengan berbagai aroma yang
dikeluarkan ribuan roda-roda yang melewati tubuhku. Tapi yang satu ini berbeda.
Bukan aroma roda yang masuk ke dalam ingatanku. Ini aroma manusia.
Aku selalu
menikmati aroma itu, yang munculnya dari tubuh seorang guru muda di sekolah
swasta di gang kecil sudut kota. Lewat dua kali sehari setiap Senin sampai
Sabtu. Demi Tuhan, semenjak aku tercipta karena kecerobohan tukang bangunan
belasan taun yang lalu, tidak pernah aku sebersyukur ini karena aku ada. Lima
tahun terakhir aku menjadi makhluk paling bahagia meskipun hanya sebagai
penikmat aromanya. Melihatnya datang mendekat hanya untuk mengetahui bahwa ia
pasti akan pergi meninggalkanku. Mana mungkin aku lupa jika aromanya saja tidak
pernah alpa melewati aku saban pagi dan sore. Menanti fajar dan senja pun tidak
lagi membosankan buatku. Baiklah, aku akui aku telah jatuh cinta.
Hingga suatu
hari, aku mencium aromanya di hari Minggu namun ada aroma lain yang
membersamai. Aroma roda yang sama seperti milik Pardi dan Sri.
Komentar
Posting Komentar